Thursday 15 May 2008

Kisah Seorang Willy

Willy hanyalah seorang anak kecil yang bersekolah di sebuah sekolah dasar di Jogja timur dengan Bantuan Operasional Sekolah dari pemerintah. Bangun tidur dia tidak bisa layaknya anak-anak lain yang disambut dengan senyuman ayah-bundanya. Ayahnya telah lama meninggal dan ibunya entah kemana. Bangun tidur ia tidak bisa langsung menggosok gigi karena harus menyiapkan air untuk minum penghuni panti asuhan dimana ia tinggal. Panti asuhan yang hanya dihuni beberapa anak yang jumlahnya tidak sampai melebihi jumlah jari tangan kita yang disatukan. Panti asuhan yang hanya bisa menyekolahkan anak asuhan seusia Willy sampai sekolah dasar saja. Setamatnya, entah bagaimana.
Kalau beruntung pantinya mendapat bantuan berlebih, Willy dapat memulai harinya dengan sarapan nasi sayur tanpa lauk. Tapi kalau sebaliknya, berpuasalah Willy hingga siang atau sore bahkan mungkin malam hari. Bukan karena melaksanakan tuntunan agama dia berpuasa, tapi keadaan yang menghimpitlah yang memaksa anak kelas lima itu mengencangkan ikat pinggangnya. Dan sayangnya, keadaan yang kedualah yang sering terjadi
Puasa yang terpaksa itu jugalah yang memaksa Willy hanya duduk ketika anak-anak lain yang lebih beruntung berlarian bermain-main. Disamping karena nominal uang jajannya yang mungkin hanya cukup untuk membeli beberapa buah permen. Itu pun kalau pantinya memberinya uang.

“Beruntung” sekolah Willy adalah sekolah kecil di pelosok desa yang cukup banyak pula anak senasib dengan Willy. Sehingga Willy dan teman-teman senasibnya tidak akan pernah melihat anak-anak yang sedang sibuk senam jari dengan hapenya, atau anak-anak yang sedang mendendangkan lagu dengan ditemani sebuah iPod. Seperti yang pasti kita jumpai di sekolah-sekolah elit di kota yang mempunyai ratusan murid hasil cetakan guru-guru berbentuk kotak ajaib bernama HP dan TV. Yang setiap jam istirahatnya tidak ada lagi anak yang bermain kelereng dan kasti, karena disibukkan dunianya sendiri yang berupa sebuah mesin kecil bernama PlayStationPortable.
Bukan HP yang diinginkan Willy. Bukan pula iPod, apalagi PSP. Takkan berani bermimpi terlalu tinggi untuk memiliki benda-benda hiburan semu semacam itu bagi seorang Willy. Karena bisa melanjutkan sekolahnya saja sudah cukup membahagiakannya.

Satu lagi ”keberuntungan” Willy dan teman senasibnya. Bersyukurlah mereka memiliki teman dan guru yang selalu membantu walau mungkin hanya dengan sebuah pemberian satu bungkus permen atau sebungkus nasi untuk sarapan. Beruntunglah Willy karena sedikit-sedikit celengannya bisa terisi dengan sedikit uang yang diberikan beberapa guru yang iba. Celengan yang kelak jika penuh akan digunakannya untuk membeli sepeda.

Willy adalah sebuah potret nyata kehidupan yang sangat ironis. Sebuah kehidupan nyata, bukan mimpi buruk yang nantinya berakhir ketika dia sudah bangun dari tidurnya. Sebuah perjalanan hidup yang mau tidak mau dia harus jalani dengan bertahan ditengah injakan kaki takdir yang belum memberinya pilihan. Dan dia tidak bisa hanya menyalahkan ibunya yang tidak bertanggung jawab, juga tidak boleh menyalahkan pengasuh Panti yang tidak mampu mencari donatur dan tidak bisa pula dia menyalahkan anak-anak yang mampu memiliki HP, TV, PSP dan sepeda. Karena sikap menyalahkan seperti itu tidak akan membuat Willy bisa menikmati sarapan tiap pagi.

Tanpa sadar, banyak sekali Willy-Willy lain di sekitar kita yang mungkin lebih kurang beruntung. Hanya mungkin kita kurang peka akan mereka. Karena kita selalu berjalan hanya mendongak ke atas hingga kita lupa kalau seharusnya kita juga harus melihat ke bawah. Dan mungkin kita lupa, bahwa rasa iba saja tidak cukup untuk membuat perut mereka kenyang, rasa prihatin saja tidak akan bisa membuat mereka bisa melanjutkan sekolahnya dengan senang, dan bahkan segalon air mata pun tidak akan mampu memberi mereka masa kecil yang layak untuk dikenang.


* based on true story